Nama : Yosephine
Rainda Disca
Kelas : 3PA08
NPM : 17511582
Kelompok : 4
Logoterapi
Prof. Viktor E. Frankl adalah seorang profesor dari Fakultas
Kedokteran-Universitas Vienna dan juga cukup lama menjadi mahasiswa yang
mempelajari filosofi eksistensial.Pada awal 1938 menggunakan istilah
‘Existenz-Analyse’ dalam tulisannya.Beliau memperoleh gelar doktor filosofi,
dan juga gelar dokter sebagai neurologis dan psikiater. Kemudian Frankl bekerja
sebagai Kepala Poliklinik Neurologik Vienna dan mendapat julukan kehormatan
“The Third Viennese School of Psychotherapy”.
Frankl memperkenalkan
logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan memanfaatkannya untuk
mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal katanya,
logoterapi berasal dari kata ‘logos’ yang berarti ‘meaning’ (makna) dan
‘spirituality’ (kerohanian). Logoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry
dan Humanistic Psychology
Viktor
Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan
untuk hidup bermakna atau berarti.Keinginan untuk mempunyai maknai merupakan
salah satu kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar
daripada ‘prinsip kesenangan’ (pleasure principle) dari Freud atau ‘keinginan
untuk berkuasa’ dari Adler. Menurut Frankl, seseorang akan menjadi sakit
apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini terjadi karena dia
tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu
sedang berada di dalam ‘kekosongan eksistensial’
1. Ajaran Logoterapi
Logoterapi berpandangan bahwa ‘makna hidup’ (the meaning of
life) dan ‘hasrat untuk hidup bermakna’ (the will to meaning) merupakan motif
azasi manusia yang dapat dilihat dalam dimensi spiritual atau ‘noetic’. Jadi,
Frankl berpendapat bahwa ada dimensi lain selain dimensi somatik dan psikis,
yaitu dimensi spiritual. Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis
dan spiritual seorang manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang
utuh.Konflik dasar spiritual yang muncul dari dalam diri seseorang dapat
terjadi sebagai akibat ketidakmampuannya untuk muncul secara spiritual
mengatasi kondisi fisik dan psikisnya.
Konflik ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan
tetapi terpusat pada hal spiritual dan etis. Apabila terdapat satu konflik
spiritual dapat menyebabkan gangguan psikologis (neurosis) yang disebut Frankl
sebagai ‘noogenic neurosis’. Terapi ini bertujuan untuk memenuhi doroangan
spiritual yang dibawa oleh manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna
keberadaan manusia.
2. Ajaran dalam Logoterapi mempunyai 3
landasan filsafat, yaitu :
1. The
freedom of will: kebebasan tetapi terbatas, bukan kebebasan dari sesuatu tetapi
kebebasan mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebebasan yang dimaksud di sini
adalah kebebasan yang bertanggungjawab.
2. The
will to meaning : merupakan motivasi dasar manusia. Yang dimaksudkan dengan
keinginan untuk bermakna adalah : tertuju kepada hal-hal yang berada di luar
diri manusia tersebut, bukan berpusat pada diri sendiri (self-centered)
3. The
meaning of life : dapat ditemukan oleh manusia dalam kehidupannya, termasuk
pada saat mengalami penderitaan (rasa bersalah, sakit, kematian). Makna hidup
setiap orang sifatnya unik, personal, spesifik, dan temporer. Makna hidup tidak
dapat diberikan oleh siapapun, jadi harus ditemukan oleh diri sendiri.
3. Logoterapi sebagai Salah Satu Metode
Konseling
Dalam logoterapi pasien dibantu untuk menemukan nilai-nilai
baru dan mengembangkan filosofi konstruktif dalam kehidupannya. Oleh karena
itu, seorang logoterapis tidaklah mengobati gejala-gejala yang tampak pada
pasien atau klien secara langsung, akan tetapi mengadakan perubahan sikap
neurotik pasien terlebih dahulu. Pasien bertanggungjawab pada dirinya sendiri
dan logoterapis memberikan dorongan untuk memilih, mencari dan menemukan
sendiri makna konkrit dari eksistensi pribadinya. Seorang logoterapis membantu
klien untuk menyusun 3 macam nilai yang akan memberi arti pada eksistensi,
yaitu : creative values, experiental values, dan attitudinal values.
Dalam proses terapi, klien diperlihatkan bagaimana membuat
hidup menjadi penuh arti dengan ‘the experience of love’. Pengalaman ini akan
membuatnya mampu menikmati ketulusan, keindahan dan kebaikan dan mampu mengerti
akan manusia dengan keunikan-keunikan pribadinya. Dengan demikian, diharapkan
klien dapat melihat bahwa penderitaan mungkin sangat berguna untuk membantunya
dalam mengubah sikap hidup.Sebagai contoh, situasi yang tidak dapat diperbaiki
yang disebut oleh Frankl sebagai ‘takdir’ mungkin harus diterima. “Dimana kita
tidak lagi dapat mengubah takdir dengan perbuatan, apapun keadaannya, sikap
yang tepat untuk menghadapi takdir adalah kita harus dapat menerimanya”
4. Tahapan Konseling Logoterapi
Ada empat tahap utama didalam proses konseling logterapi
diantaranya adalah:
·
Tahap perkenalan dan pembinaan rapport. Pada
tahap ini diawali dengan menciptakan suasana nyaman untuk konsultasi dengan
pembina rapport yang makin lama makin membuka peluang untuk sebuah encounter.
Inti sebuah encounter adalah penghargaan kepada sesama manusia, ketulusan hati,
dan pelayanan. Percakapan dalam tahap ini tak jarang memberikan efek terapi
bagi konseli.
·
Tahap pengungkapan dan penjajagan masalah. Pada
tahap ini konselor mulai membuka dialog mengenai masalah yang dihadapi konseli.
Berbeda dengan konseling lain yang cenderung membeiarkan konseli “sepuasnya”
mengungkapkan masalahnya, dalam logoterapi konseli sejak awal diarahkan untuk
menghadapi masalah itu sebagai kenyataan.
·
Pada tahap pembahasan bersama, konselor dan
konseli bersama-sama membahas dan menyamakan persepsi atas masalah yang
dihadapi. Tujuannya untuk menemukan arti hidup sekalipun dalam penderitaan.
·
Tahap evaluasi dan penyimpulan mencoba memberi
interpretasi atas informasi yang diperoleh sebagai bahan untuk tahap
selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan perilaku konseli. Pada tahap-tahap ini
tercakup modifikasi sikap, orientasi terhadap makna hidup, penemuan dan
pemenuhan makna, dan pengurangan symptom.
Jadi, tujuan dari
logoterapi adalah membangkitkan “kemauan untuk bermakna” dalam individu
tersebut, yang bersifat khusus dan pribadi bagi masing-masing orang.Seseorang
dapat bertahan dalam kondisi-kondisi yang paling tidak menguntungkan hanya bila
tujuan ini terpenuhi. Namun sebelumnya, seorang konselor sebaiknya mampu
mengeksplorasi dinamika proses intrapsikis dan menyelidiki hubungan interpersonal
klien melalui psikoterapi tradisional dengan teknik psikoanalitik. Oleh karena
itu, tampaknya Frankl, tidak sama sekali meninggalkan teori Freud dalam
psikoanalitiknya, tetapi keberhasilan logoterapi sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan terapis dalam mengeksplorasi konflik intrapsikis dari klien.
Dengan logoterapi, klien yang menghadapi kesukaran menakutkan
atau berada dalam kondisi yang tidak memungkinkannya beraktivitas dan
berkreativitas dibantu untuk menemukan makna hidupnya dengan cara bagaimana ia
menghadapi kondisi tersebut dan bagaimana ia mengatasi penderitaannya. Dengan
cara ini, klien dibantu untuk menggunakan kejengkelan dan penderitaannya
sehari-hari sebagai alat untuk menemukan tujuan hidupnya. Peradaban kita saat
ini meyakinkan banyak orang untuk melihat penderitaan sebagai satu ‘takdir’
yang tidak dapat dicegah dan dielakkan.Akan tetapi logoterapi mengajarkan
kepada klien untuk melihat nilai positif dari penderitaan dan memberikan
kesempatan untuk merasa bangga terhadap penderitaannya.
5. Teknik Logoterapi
1. Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah
teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih
konstruktif dalam menghadapi kesulitannya.Frankl, menggambarkan hal ini dalam
satu kasus tentang seorang perawat yang menderita tumor yang tidak dapat
dioperasi dan mengalami keputusasaan karena ketidakmampuannya untuk bekerja
dalam profesinya yang sangat terhormat.
2. Paradoxical-intention
Paradoxical intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan
mengambil jarak (self-detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap
kondisi diri sendiri dan lingkungan.Paradoxical intention terutama cocok untuk
pengobatan jangka pendek pasien fobia (ketakutan irrasional). Dengan teknik
ini, konselor mengupayakan agar klien yang mengalami fobia mengubah sikap dari
‘takut’ menjadi ‘akrab’ dengan objek fobianya. Selain itu, teknik paradoxical
intention sangat bermanfaat untuk menolong klien dengan obsesif kompulsif
(tindakan yang terus-menerus dilakukan walaupun sadar hal itu tidak
rasional).Antisipasi yang menakutkan terhadap suatu kejadian sering menyebabkan
reaksi-reaksi yang berkembang dari peristiwa tersebut, misalnya pasien dengan
obsesi yang kuat cenderung untuk menghindari obsesif-kompulsifnya. Dengan teknik
paradoxical intention, mereka diajak untuk ‘berhenti melawan’, tetapi bahkan
mencoba untuk ‘bercanda’ tentang gejala yang ada pada mereka, ternyata hasilnya
adalah gejala tersebut akan berkurang dan menghilang. Klien diminta untuk
berpikir atau membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan, menakutkan, atau
memalukan baginya. Dengan cara ini klein mengembangkan kemampuan untuk melawan
ketakutannya, seperti yang terdapat juga dalam terapi perilaku (behaviour
therapy).
3. De-reflection
Teknik logoterapi lain adalah “de-reflection”, yaitu
memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang dimiliki
setiap manusia dewasa. Setiap manusia dewasa memiliki kemampuan untuk
membebaskan diri dan tidak lagi memperhatikan kondisi yang tidak nyaman, tetapi
mampu mengalihkan dan mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang positif dan
bermanfaat.Di sini klien pertama-tama dibantu untuk menyadari kemampuan atau
potensinya yang tidak digunakan atau terlupakan.Ini merupakan suatu jenis daya
penarik terhadap nilai-nilai pasien yang terpendam. Sekali kemampuan tersebut
dapat diungkapkan dalam proses konseling maka akan muncul suatu perasaan unik,
berguna dan berharga dari dalam diri klien. De-reflection tampaknya sangat
bermanfaat dalam konseling bagi klien dengan pre-okupasi somatik, gangguan tidur, dan
beberapa gangguan seksual, seperti impotensi dan frigiditas
CONTOH KASUS
1.
Contoh
Kasus penerapan teknik Bimbingan Rohani
Harold seorang warga Australia berusia paruh baya yang
kehidupannya dengan cepat berubah carut-marut diluar kontrol seperti seorang
pemabuk. Masalah keuangan/ekonomi tidak didukung oleh sejumlah biaya yang
dihabiskan untuk minum dan pengaruh beban pekerjaan (stress). Simpati istrinya
berkurang disamping ia juga punya masalah tidur tengah malam. Dia pulang untuk
menemui Chris Wurm, seorang GP ahli Logotherapi. Wurm mengkombinasikan
pendekatan medis sebagai contoh pemberian informasi terhadap bahaya
minuman-minuman juga dilakukan dengan logotherapi. Roda kehidupan Harol kembali
bergulir, liku-liku sisi alkohol dari kehidupannya dan tak bisa dihindari. Werm
berkata “ bahwa memungkin untuk memikirkan apayang dia ketahui dan dapat
menentukan pilihan dan menjalani kehidupan dengan berbagai cara (penekanan
logotherapi dapat dipertanggung jawabkan). Cerminan dari suatu pilihan yang
membawa perubahan baginya (ini adalah orientasi terhadap makna penghayatan dan
nilai - nilai terakhir yang bisa ditemuinya, nilai – nilai bersikap), dan
terdapat gambaran masa masa mendatang. Perannya sangat menentukan dan menjadi
efektif, setiap kali ia memandang betapa akal piciknya menjadi bumerang (api
dalam sekam).
2.
Contoh
kasus penerapan teknik Intensi Paradoksial
a) Kasus hidrofobia yang dialami seorang klien
selama 4 tahun, dimana ia selalu merasa gemetar dan keluar keringat tiap kali
berjabat tangan dengan atasannya. Frankl mengajukan saran kepada kliennya
supaya jika ia bertemu kembali dengan atasannya berusaha secara sengaja
mengatakan pada dirinya bahwa ia akan mengeluarkan keringat sebanyak-banyaknya
jika bersalaman dengan atasannya yang
sebelumnya hanya sedikit. Dan hasilnya ternyata klien tidak berkeringat
sedikitpun saat bersalaman dengan atasannya.
b) Kasus bakterofobia dan kompulsi mencuci
yang dialami ibu rumah tangga ditangani Frankl dengan mengajak ibu tersebut
menirukan apa yang dilakukannya dengan menggosok-gosokkan tangan ke lantai dan
kemudian berkata, ‘’Lihat, tangan saya menjadi kotor, tetapi saya tidak bisa
menemukan banyak bakteri !’’ dan kemudian ibu tersebut mau menirukannya dan
selama 5 hari berikutnya gejala-gejala bakterfobia mulai menyusut dan akhirnya
hilang sama sekali.
c) Kasus alkoholisme neurosis yang dialami
D.F yang mana dengan minum secara eksesif untuk mengatasi ketidakbermaknaan
hidup sekaligus untuk mengatasi gejala gemetaran tangan jika berada di depan
orang lain. Dan tidak bisa mengangkat piring atau gelas tanpa menumpahkan
isinya jika makan atau minum di depan umum. Gerz menganjurkan D.F agar secara
sengaja berhumor menunjukkan gejala-gejala itu
di hadapan orang lain dengan mengatakan ‘’ Lihat, betapa ajaib getaran
tanganku.’’ Dan ternyata dia tidak bisa menggetarkan tangannya ketika
berhadapan dengan orang lain.
Dari contoh kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan
intensi paradoksial individu didorong untuk melakukan sesuatu yang paradoks
yakni mendekati sesuatu yang justru ditakutinya dan yang selalu ingin
dihindarinya.
3.
Contoh
kasus penerapan teknik De- reflection
Contoh
kasus berikutnya dikutip dari hasil penelitian oleh Suprapto (2013) yang
berjudul “konseling logoterapi untuk meningkatkan kebermaknaan hidup lansia”
Menjadi
tua adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari. Saat memasuki periode lansia,
menjadi seseorang yang lebih berarti dalam hidup tampaknya sangat penting.
Lansia akan menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan beberapa
perubahan yang dialami lansia, yaitu perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan
psikososial. Hal tersebut akan menimbulkan berbagai dampak bagi lansia, salah
satunya ialah perasaan tidak bermakna dalam hidup yang dapat menyebabkan
terjadinya gejala fisik. Subjek ialah lansia yang mengalami ketidakbermaknaan
hidup dan berdampak pada gejala fisik.
Berdasarkan
hasil analisis dari kasus diatas menunjukkan bahwa konseling logoterapi dapat
meningkatkan kebermaknaan hidup pada lansia. Konseling logoterapi diberikan
pada subjek karena konseling ini merupakan konseling yang diberikan pada
individu yang mengalami ketidakjelasan makna dan tujuan hidup. Hal tersebut
menyebabkan subjek mengalami kehampaan dan kehilangan gairah hidup. Konseling
logoterapi juga diberikan pada subjek karena konseling ini tidak diterapkan
untuk kasus patologis berat yang membutuhkan psikoterapi. Selain itu, konseling
logoterapi memiliki karakteristik jangka pendek, berorientasi masa depan dan
berorientasi pada makna hidup (Bastaman, 2007).
Dalam
pendekatan humanistik eksistensial, subjek mengalami neurosis noogenik yaitu
gangguan yang disebabkan tidak terpenuhinya keinginan subjek untuk hidup bermakna,
gangguan tersebut berupa beberapa keluhan fisik yang dialami subjek. Penanganan
yang diberikan pada subjek ialah konseling logoterapi dengan menggunakan metode
dereflection. Metode ini memanfaatkan kemampuan transendensi diri yang
terdapat pada setiap individu dewasa seperti subjek dimana subjek diarahkan untuk
tidak memperhatikan kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (Bastaman, 2007).
Melalui metode tersebut subjek lebih memperhatikan hal-hal yang positif dan
bermanfaat dan mengalami perubahan sikap, yaitu dari sikap yang terlalu
memperhatikan diri menjadi sikap yang memiliki komitmen terhadap suatu yang
penting bagi subjek. Dalam kasus ini, hal yang penting bagi subjek ialah menentukan
tujuan hidup dan menemukan makna hidupnya kembali. Metode dereflection lebih
adaptif untuk dilakukan, dimana subjek lebih mudah menerima kondisi dirinya,
karena metode tersebut tidak membutuhkan banyak hal yang berkaitan dengan
kontrol terhadap pribadinya sebagai seorang lansia. Melalui metode
dereflection, subjek dapat melihat hal yang berarti dalam kehidupan mereka dan
dapat mengatasi kehampaan eksistensial yang dialaminya. Konseling logoterapi
membantu subjek untuk menemukan sendiri makna hidupnya, menyadari bahwa mereka
memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidup dan bertanggung jawab
terhadap pilihan hidup tersebut (Sugioka, 2011).
Hasil
dari konseling logoterapi ini didukung oleh kemauan dan motivasi subjek untuk
meningkatkan kebermaknaan hidupnya serta dukungan dari anggota keluarga subjek.
Istri subjek menyatakan bahwa terdapat perubahan subjek ke arah yang lebih baik
berkaitan dengan sikapnya terhadap istri dan anak-anak subjek. Istri subjek
tidak lagi menemui kebiasaan subjek untuk memeriksakan kondisi fisiknya secara
berlebihan ke puskesmas. Istri
subjek
juga menyatakan bahwa subjek kini lebih dapat mengendalikan emosi daripada
sebelumnya. Selain dari proses konseling logoterapi, peningkatan kondisi subjek
tersebut dipengaruhi oleh pihak lain, yaitu penjelasan dari saudara subjek yang
berprofesi dokter yang dapat meyakinkan subjek bahwa gejala fisik yang
dikeluhkannya bukan merupakan gejala dari penyakit kronis tertentu. Serta percakapan
yang sering dilakukan subjek dengan temannya dimana subjek diajarkan untuk
mengubah sikapnya dalam menjalani hidup dan dalam menyikapi orang lain. Subjek
menyadari bahwa masukan dari dua pihak tersebut serta proses konseling yang
telah dilakukan memiliki manfaat yang besar terhadap dirinya untuk menjadi
lebih baik di waktu yang akan datang.
Selanjutnya
berdasarkan Kuesioner Kebermaknaan Hidup yang diisi oleh subjek, terdapat
perbedaan yang signifikan pada beberapa poin di awal konseling dengan di akhir
konseling. Hal tersebut menunjukkan bahwa subjek belum menemukan tujuan
hidupnya sebelum diberikan konseling dan telah mampu menentukan tujuan hidupnya
secara jelas setelah diberikan konseling, yaitu dapat membahagiakan keluarga,
dapat bermanfaat bagi orang lain, serta lebih dekat dengan Tuhan. Pada poin
lain juga terdapat perbedaan yang signifikan, dimana hasil pengisian kuesioner
menunjukkan bahwa pada awal konseling subjek belum menemukan makna hidupnya dan
pada akhir konseling subjek telah menemukan makna hidupnya. Sedangkan hasil
pengisian kuesioner secara keseluruhan, kondisi subjek menunjukkan adanya
perubahan pada awal dan akhir konseling. Subjek telah mampu menentukan tujuan
hidupnya secara jelas dan telah menemukan makna hidupnya kembali.
Selama
proses konseling logoterapi, peneliti dan subjek memiliki hubungan yang akrab,
terbuka, saling menghargai, memahami dan menerima, sehingga proses konseling
dapat dilakukan secara fleksibel. Konseling bersifat direktif dimana peneliti
memberikan pengarahan pada subjek mengenai hal-hal yang dapat dilakukan subjek
sebagai proses untuk menemukan makna hidupnya. Peneliti berperan sebagai participating
partner yang menarik keterlibatan dengan subjek sedikit demi sedikit
setelah subjek mulai menyadari dan menemukan makna hidupnya (Bastaman, 2007).
Keterbatasan
dalam penelitian ini ialah faktor eksternal yang tidak dapat dikontrol oleh
peneliti, yang kemungkinan dapat mempengaruhi hasil konseling. Faktor eksternal
tersebut ialah pengaruh dari keluarga, saudara, serta sahabat subjek. Keluarga,
terutama istri subjek, memberikan dukungan setiap saat agar subjek dapat
menerima kondisi fisiknya dan menjalani hidup dengan lebih tenang. Selama
proses konseling, keluarga mendukung subjek untuk melakukan hal-hal yang
positif dan bermanfaat sehingga kebermaknaan hidup subjek meningkat. Saudara
subjek yang berprofesi dokter juga memberikan pengaruh terhadap hasil konseling.
Saudara subjek tersebut melakukan pemeriksaan terhadap kondisi fisik subjek dan
tidak menemukan kemungkinan yang mengarah pada penyakit kronis tertentu.
Saudara subjek menjelaskan bahwa gejala fisik yang dialami subjek akibat
kondisi fisik subjek yang mengalami penurunan karena memasuki masa lansia, dan
meyakinkan bahwa subjek tidak perlu mengkhawatirkan gejala-gejala tersebut.
Selanjutnya sahabat subjek yang sering melakukan percakapan dengan subjek juga
memberikan dukungan pada subjek. Ia meyakinkan bahwa subjek dapat memiliki kehidupan
yang lebih tenang dengan menerima kondisi fisiknya yang menurun. Sahabat subjek
yang mengalami kelumpuhan tersebut menyampaikan bahwa ia dapat menjalani hidupnya
dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, sehingga ia berharap subjek dengan kondisi
fisik yang lebih baik juga dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Diharapkan
setelah konseling dihentikan, subjek dapat mempertahankan atau meningkatkan
kebermaknaan hidupnya sehingga menjadi pribadi yang lebih terbuka dan menyenangkan,
bersedia melakukan pengalaman baru (Reker & Woo, 2011), selalu memiliki harapan
menjadi lebih baik dan bersedia untuk memperbaiki diri, berguna dan bermanfaat
bagi lingkungan sekitar (Bastaman, 2007). Selain itu, sebagai proses
meningkatkan kebermaknaan hidupnya, subjek diharapkan dapat mempertahankan
ketertarikan, aktivitas, dan interaksi sosial selama periode lansia (Feldman, 2003)
serta mampu menemukan makna yang positif dari kehidupan dan kematian, bahkan
dalam kondisi fisik yang tidak baik, seperti penurunan fungsi tubuh (Wong,
2007).
Sumber:
Hana uswatun hasanah
suprapto, madiun , jawa timur. Jurnal “konseling logo terapi untuk meningkatkan
kebermaknaan hidup lansia”. Volume1 (2), 190-198. Magister psikologi UMM. 2013
Abidin,
Zainal. 2007. Analisis eksistensial.
Jakarta : Raja Grafindo Persada